Senin, 02 Desember 2013

Soal Materi Sekolah Sejarah Pendidikan di Indonesia

Tags

3.1 Pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan
    Pendidikan di Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan dapat digolongkan ke dalam tiga periode, yaitu:Pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan, Pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajahan, dan Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan
Pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan meliputi:
I.    Pendidikan Hindu-Budha.
Pendidikan pada zaman keemasan Hindu-Budha yang berlangsung antara abad ke-14 hingga abad ke-16 masehi. Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di nusantara, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-biara atau pedepokan. Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengetahuan yang meliputi sastra, bahasa, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara, dan hukum. Kerajaan-kerajaan hindu di tanah jawa banyak melahirkan empu dan pujangga besar yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa, itu pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para pemuka agama. Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad ke 16, dan pendidikan dengan corak Islam dalam kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.
II.    Pendidikan Islam
Pendidikan berlandaskan ajarna Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui kontak teratur  dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat. Didapati pendidikan agama Islam di masa prakolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di pesantren, dan pendidikan di madrasah.
III.    Pendidikan Katolik dan Kristen-Protestan
Pendidikan Katolik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang menguasai malaka. Dalam usahanya mencari rempah-rempah untuk dijual di Eropa, mereka menyusuri pulau-pulau Ternate, Tidore, Ambon, dan Bacan. Dalam pelayarannya itu, mereka selau disertai misionaris Katolik-Roma yang berperan ganda sebagai penasihat spiritual dalam perjalanan yang jauh dan penyebar agama di tanah yang didatanginya. Kemudian Belanda menyebarkan agama Kristen-Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
IV.    Pendidikan pada zaman VOC
Sebagaimana bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke -16 mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempah dengan mendirikan VOC. Misi dagang tersebut kemusian diikkuti oleh misi penyebaran agama terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi asrama untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, dan sebagian menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-16, VOC mendirikan sekolah di pulau-pulau Ambon, Banda, Lontar, dan Sangihe-Talaud. Pada periode berikutnya, didirikan pula sekolah-sekolah dengan jenis dan tujuan yang lebih beragam. Pendirian sekolah-sekolah tersebut terutama diarahkan untuk kepentingan mendukung misi VOC di Nusantara
V.    Pendidikan pada zaman kolonila Belanda
Pudarnya VOC pada akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda. Sistem pendidikan diubah dengan menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan sekolah Bumiputera. Sekolah Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak orang Eropa di Indonesia, sedangkan sekolah-sekolah bumiputera tingkatan dan prestisenya lebih rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputra yang terpilih. Mulai akhir abad ke-19 dan hingga dasawarsa awal abad ke-20, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangat beragam, meliputi sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah raja, sekolah petukangan, sekolah kejuruan, sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah dokter, perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik. Untuk mengimbangi pendidikan Belanda, pada periode ini berdiri pula lembaga-lembaga pendidikan bercorak keagamaan dan kebangsaan oleh Muhamadiyah, taman siswa, INS kayutaman, Ma’arif dan perguruan Islam lainnya.
VI.    Pendidikan pada masa pendudukan Jepang
Meskipun singkat, berlangsung pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan corak yang berarti pada pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa, Jepang segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut bangsa dan status sosialnya. Tingkat sekolah terendah adalah Sekolah Rakyat(SR) , yang terbuka untuk semua golongnan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan asal-usulnya. Kelanjutannya adalah Sekolah Menengah Pertama(SMP) selama tiga tahun, kemudian Sekolah Menengah Tinggi(SMT) selama tiga tahun. Sekolah kejuruan juga dikembangkan, yaitu Sekolah Pertukangan, Sekolah Menengah Teknik Menengah, Sekolah Pelayaran, dan Sekolah Pelayaran Tinggi. Sekolah Hukum dan MOSVIA yang didirikan oleh Belanda dihapuskan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang didirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko)di Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan lain yang sangat berarti  bagi Indonesia  di kemudian hari ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah bahasa Jepang. Sejak saat itu, bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ilmiah. Tujuan pendidikan pada zaman Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan Jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-Cuma yang dikenal dengan romusha.

3.2 Pendidikan di Indonesia setelah kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai dengan tahun 1945 diselenggarakan oleh Kantor  Pengajaran yang terkenal dengan nama Jepang Bunkyo Kyoku dan merupakan bagian dari kantor yang menyelenggarakan urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Segere setelah diproklamasikannya kemerdekaan, Pemerintah Indonesia yang baru dibentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran mulai 19 Agustus sampai dengan 14 November 1945, kemudian digantikan oleh Mr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. Tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia digantikan oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. Karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak banyak yang dapat diperbuat oleh para  menteri tersebut, apalagi Indonesia masih disibukkan dengan berbagai persoalan bangsa setelah diproklamasikannya kemerdekaan.
I.    Tujuan dan Kurikulum Pendidikan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan, mengikuti perubahan dalam suasana kehidupan kebangsaan kita. Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP&TK), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan amat menanamkan penananman jiwa patriotisme. Hal ini dapat dipahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajahan yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu, penanaman jiwa patriotisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara  yang baru diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata-mata menekankan jiwa patriotisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, Bab II pasal 3 dinyatakan, ”Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakup dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.
II.    Sistem Persekolahan
Sistem persekolahan yang berlaku di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang telah dikembangkan pada zaman pendudukan Jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Sistem persekolahan tersebut terus dipertahankan dan merupakan sistem oersekolahan yang berlaku pada zaman kemerdekaan, bahkan hingga tahun 1980-an. Hingga akhir tahun 1960-an, kalaupun terjadi perubahan, hal ini lebih pada bentuk kelembagaannya. Perkembangan lain yang terpenting dicatat pada era 1945-1969 ialah berrdirinya 42 Perguruan Tinggi Negeri berupa universitas, institut dan sekolah tinggi yang umumnya terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebagai “era pertumbuhan PTN”

3.4 Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional, serta mmapu menjawab tantangan masa kini dan masa depan, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang stategis bagi bangsa. Prioritas tersebut adalah pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Pada tanggal 2 Mei 1994 waib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP dicanangkan. Sepuluh tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 2 Mei 1984, Indonesia juga memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD. Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 Pasal 6 menyatakan tentang hak warga negara untuk mengikuti pendidikan sekurang-kurangnya tamat pendidikan dasar. Kemudian PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan dasar merupakan  pendidikan 9 tahun, terdiri atas program pendidikan 6 tahun di SD dan program pendidikan 3 tahun di SLTP. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai dua tujuan utama yang berkaitan satu sama lain yaitu: meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15 tahun dan untuk meningkatkan mutu sumber daya Indonesia hingga mencapai SLTP.
Dengan wajib belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia yang semula 6 tahun ditingkatkan menjadi 9 tahun. Peningkatan lamanya wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun memungkinkan peserta didik untuk lebih lama belajar di sekolah. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menempuh studi lanjutan dan hidup di masyarakat.
Sejak dimulai pada tahun 1994, program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator kuantitatif yang dicatat menunjukkan bahwa angka partisipasi meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya ruang belajar, jumlah guru, dan fasilitas belajar lainnya.

3.5 Permasalahan Pendidikan
Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sisitem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sosial budaya sebagai suprasistem tersebut di mana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu  permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari  kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat di sekitarnya, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya di luar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut. Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks, menyangkut banyak komponen, dan melibatkan banyak pihak.
Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita dewasa ini, yaitu: bagaimana semua warga negara dapat menikmati kesempatan pendidikan dan bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan untuk terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat.
I.    Masalah Pemerataan Pendidikan
    Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan.
    Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa berhitung, membaca, dan menulis sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan.
    Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan
    Banyak pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional dan cara inovatif. Cara konvensional antara lain: membangun gedung sekolah seperti SD Inpres dan atau ruangan belajar dan menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore) sehubungan dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat/keluarga yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.
    Cara inovatif antara lain:
a.    sistem Pamong(pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau Inpacts System(Instructional Management by Parent, Community and, Teacher). Sistem tersebut dirintis di Solo dan didiseminasikan ke beberapa propinsi
b.    SD kecil pada daerah terpencil
c.    Sistem Guru Kunjung
d.    SMP Terbuka (ISOSA- In School Out off School Approach)
e.    Kejar Paket A dan B
f.    Belajar Jarak Jauh

II.    Masalah Mutu Pendidikan
    Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test). Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Dengan kata lain apakah keluaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Meskipun disadari bahwa pada hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil dari sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika terhadap produk seperti itu sistem pendidika dianggap mempunyai andil yang cukup, yang tetap menjadi persoalan ialah bahwa pengukuran mutu produk tersebut tidak mudah. Berhubung dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika seorang berbicara tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan hasil belajar yang dikenal sebagai hasil EBTA, Ebtanas, atau hasil Sipenmaru, UMPTN, karena ini mudah diukur. Hasil EBTA dan lain-lain tersebut itu dipandang sebagai gambaran tentang hasil pendidikan.
    Padahal hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil yang bermutu. Jika terjadi belajar yang tidak optimal menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu. Umumnya kondisi mutu pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah perkotaan. Acuan usaha pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala jenis dan jenjangnya di seluruh pelosok tanah air (kota dan desa) mengalami peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.
Pemecahan Masalah Mutu Pendidikan
    Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya pemecahan masalah mutu pendidikan bersasaran pada perbaikan kualitas komponen pendidikan serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik, yang akhirnya dapat meningkatkan hasil pendidikan. Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia, dan manajemen.
III.    Masalah Efisiensi Pendidikan
    Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaanya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi. Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya berarti rendah. Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembangan tenaga.
    Masalah pengangkatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Masalah penempatan guru, khsusnya guru bidang studi, sering mengalami kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Gejala tersebut membawa ketidakefisienan dalam memfungsikan tenaga guru, meskipun persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil, karena tidak ada insentif yang menarik. Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana di lapangan.
IV.    Masalah Relevasi Pendidikan
    Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang aktual maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi. Umumnya luaran yang diproduksi oleh sistem pendidikan jumlahnya secara kumulatif lebih besar daripada yang dibutuhkan di lapangan.

Permasalahan Aktual Pendidikan di Indonesia
    Masalah aktual ada yang mengenai konsep dan ada yang mengenai pelaksanaannya. Perlu dipahami bahwa tidak semua masalah aktual tersebut merupakan masalah baru. Bahkan ada yang sudah lama. Sudah sejak lama masalah aktual itu kita sepakati untuk mengatasinya, tetapi dari tahun ke tahun hasilnya tetap sama.
I.    Masalah Keutuhan Pencapaian sasaran
    Dalam pelaksanaannya pendidikan afektif belum ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan pengembangan aspek kognitif.
II.    Masalah Kurikulum
    Masalah kurikulum meliputi masalah konsep dan masalah pelaksanaannya. Apalagi kalau kita lihat di lapangan terdapat masalah pengembangan tenaga kependidikan yang biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian diri para pelaksana di lapangan. Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat dicanangkan berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini proses pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.
III.    Masalah Peranan Guru
    Konsep-konsep baru lahir sebagai cerminan humanisme yang memberikan arah baru pada pendidikan. Sejalan dengan itu perkembangan iptek yang pesat menyumbangkan cara-cara baru yang lebih mantap terhadap pemecahan masalah pendidikan. Dalam realisasinya dipandu oleh kurikulum yang selalu disempurnakan. Sejalan dengan itu maka guru sebagai suatu komponen sistem pendidikan juga harus berubah.
    Dahulu guru merupakan satu-satunya sumber belajar,  ia menjadi pusat bertanya. Tugas guru memberikan ilmu pengetahuan kepada murid. Cara demikian dipandang sudah memadai karena ilmu pengetahuan guru belum berkembang, cakupannya masih terbatas. Dewasa ini berkat perkembangan iptek yang demikian pesat bahkan merevolusi, bagi seorang guru tidak mungkin lagi menjadikan dirinya gudang ilmu dan oleh karena itu juga tidak satu-satunya sumber belajar bagi muridnya. Tugasnya bukan memberikan ilmu pengetahuan melainkan terutama menunjukkan jalan bagaimana cara memperoleh olmu pengetahuan, dan mengembangkan dorongan untuk berilmu. Dengan singkat dikatakan bahwa tugas guru adalah “membelajarkan pelajar”
IV.    Masalah Pendidikan Dasar 9 Tahun
    Dalam pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun, lebih-lebih pada tahap awal sudah pasti banyak hambatanya. Hambatan lain berasal dari sambutan masyarakat, utamanya dari orang tua/ kalangan yang kurang mampu. Mereka mungkin cenderung untuk tidak menyekolahkan anaknya karena harus membiayai anaknya lebih lama. Padahal dapat berharap banyak dari anaknya untuk segera memperoleh pekerjaan setelah tamat dari sekolah.



                                                             Daftar Pustaka
Abdulhak, Ishak., Supriadi, D., Wahyudin, Dinn. 2006. Pengantar Pendidikan. Universitas Terbuka, Jakarta.
Prof. Dr. Umar Tirtarahardja dan Drs. S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. PT Rineka Cipta, Jakarta.
 

Terima Kasih Telah Membaca Postingan Ini, semoga bermanfaat!


EmoticonEmoticon